BAB
I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Kelainan
kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasil konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab penting
terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir. Kematian
bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh kelainan
kongenital yang cukup berat, hal ini seakan-akan merupakan suatu seleksi alam
terhadap kelangsungan hidup bayi yang dilahirkan. Bayi yang dilahirkan dengan
kelainan kongenital besar, umumnya akan dilahirkan sebagai bayi berat lahir
rendah bahkan sering pula sebagai bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi
berat lahir rendah dengan kelainan kongenital berat, kira-kira 20% meninggal
dalam minggu pertama kehidupannya.
Disamping pemeriksaan fisik, radiologik dan laboratorik
untuk menegakkan diagnosa kelainan kongenital setelah bayi lahir, dikenal pula
adanya diagnosisi pre-antenatal kelainan kongenital dengan beberapa cara
pemeriksaan tertentu misalnya pemeriksaan ultrasonografi, pemeriksaan air
ketuban dan darah janin. Penyebab langsung kelainan kongenital sering kali
sukar diketahui. Pertumbuhan embryonal dan fetal dipengaruhi oleh berbagai
faktor seperti faktor genetik, faktor lingkungan atau kedua faktor secara
bersamaan. Banyak kelainan kongenital yang tidak diketahui penyebabnya. Faktor
janinnya sendiri dan faktor lingkungan hidup janin diduga dapat menjadi faktor
penyebabnya. Masalah sosial, hipoksia, hipotermia, atau hipertermia diduga
dapat menjadi faktor penyebabnya. Seringkali penyebab kelainan kongenitai tidak
diketahui. Salah satu kelainan congenital yang sering terjadi adalah
meningokel.
Angka kejadiannya adalah 3 di antara 1000 kelahiran.
Terjadi karena adanya defek pada penutupan spina yang berhubungan dengan
pertumbuhan yang tidak normal korda spinalis atau penutupnya. Biasanya terletak
di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah
torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap
dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf).
B. Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum
a.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Anak.
b.
Agar mahasiswa mengetahui dan memahami apa yang dimaksud
dengan Maningokel dan dapat memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai.
2.
Tujuan Khusus
Agar para pembaca mengetahui dan memahami apa yang
dimaksud dengan Maningokel dan bisa memberikan Asuhan Keperawatan yang sesuai
dengan standar keperawatan yang telah ditentukan.
BAB II
KONSEP DASAR MEDIS
KONSEP DASAR MEDIS
A. Pengertian
Meningokel adalah penonjolan dari pembungkus medulla
spinalis melalui spina bifida dan terlihat sebagai benjolan pada permukaan.
Pembengkakan kistis ini ditutupi oleh kulit yang sangat tipis. Pada kasus
tertentu kelainan ini dapat dikoreksi dengan pembedahan. Pembedahan terdiri
dari insisi meningokel dan penutupan dura meter. Kemudian kulit diatas cacat
ditutup. Hidrosefalus kemungkinan merupakan komplikasi yang memerlukan
drainase. (Prinsip Keperawatan Pediatric, Rosa M. sachrin. Hal-283).
Meningokel merupakan kelainan kongenital SSP yang paling
sering terjadi. Biasanya terletak di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat
di daerah servikal atau daerah torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi
selaput otak, sedangkan korda tetap dalam korda spinalis (dalam durameter tidak
terdapat saraf). Tidak terdapat gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan
menjadi normal sesudah operasi. (IKA-FKUI. Hal-1136).
Spina bifida dimanifestasikan pada hampir semua kasus
disrafisme spinal yang merupakan terminologi untuk kelompok kelainan spinal
yang umumnya menunjukkan ketidaksempurnaan menutupnya jaringan mesenkim, tulang
dan saraf di garis tengah. . (Buku Ajar Neurologi Anak. Hal-144)
Pembagian disrafisme spinal antara lain:
1.
Spina bifida okulta Defek terdapat pada arkus vertebrata
tanpa herniasi jaringan.
2.
Meningokel spinalis Defek pada durameter dan arkus
spinalis. Herniasi jaringan saraf spinalis atau sebagian medulla spinalis.
3.
Meningomielokel Kantung herniasi terdiri dari
leptomeningen, cairan, jaringan saraf berupa serabut spinalis atau sebagian
medulla spinalis.
4.
Mielomeningosistokel Kantung terdiri dari leptomeningen,
cairan cerebrospinal, serabut saraf yang membenntuk kista berisi cairan yang
berhubungan dengan kanalis sentralis.
5.
Rakiskisis spinal lengkap Tulang belakang terbuka
seluruhnya
B. Etiologi
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum
diketahui. Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam
terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah
konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar
vitamin maternal rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam
valfroat: dan hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba
neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin
prakonsepsi, termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila
L. Betz & Linda A. Sowden.2002] hal-468).
Kelainan konginetal SSP yang paling sering dan penting
ialah defek tabung neural yang terjadi pada 3-4 per 100.000 lahir hidup.
Bermacam-macam penyebab yang berat menentukan morbiditas dan mortalitas, tetapi
banyak dari abnormalitas ini mempunyai makna klinis yang kecil dan hanya dapat
dideteksi pada kehidupan lanjut yang ditemukan secara kebetulan. (Patologi Umum
Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).
C. Patofisiologi
Ada dua jenis kegagalan penyatuan lamina vertebrata dan
kolumna spinalis: spina bifida okulta dan spina bifida sistika. Spina bifida
okulta adalah defek penutupan dengan meninges tidak terpajan di permukaan
kulit. Defek vertebralnya kecil, umumnya pada daerah lumbosakral.
Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medula spinalis dan pembungkusnya. Meningokel adalah penonjolan yang terdiri dari meningens dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS): penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi, dan medulla spinalis tidak terkena. Hidrosefalus terdapat pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel umumnya terdapat pada lumbosakral atau sacral.
Spina bifida sistika adalah defek penutupan yang menyebabkan penonjolan medula spinalis dan pembungkusnya. Meningokel adalah penonjolan yang terdiri dari meningens dan sebuah kantong berisi cairan serebrospinal (CSS): penonjolan ini tertutup kulit biasa. Tidak ada kelainan neurologi, dan medulla spinalis tidak terkena. Hidrosefalus terdapat pada 20% kasus spina bifida sistika. Meningokel umumnya terdapat pada lumbosakral atau sacral.
Mielomeningokel adalah penonjolan meninges dan sebagian medulla
spinalis, selain kantong berisi CSS. Daerah lumbal atau lumbosakral terdapat
pada 42% kasus; torakolumna pada 27 kasus, sacral 21% kasus; dan torakal atau
servikal pada 10% kasus. Bayi dengan mielomeningokel mudah terkena cedera
selama proses kelahiran. Hidrosefalus terdapat pada hampir semua anak yang
menderita spina bifida (85% sampai 90%);kira-kira 60% sampai 70% tersebut
memiliki IQ normal. Anak dengan mielomeningokel dan hidrosefalus menderita
malformasi system saraf pusat lain, dengan deformitas Arnold-Chiari yang paling
umum.
Penyebab spesifik dari meningokel atau spina bifida belum
diketahui. Banyak factor seperti keturunan dan lingkungan diduga terlibat dalam
terjadinya defek ini. Tuba neural umumnya lengkap empat minggu setelah
konsepsi. Hal-hal berikut ini telah ditetapkan sebagai faktor penyebab; kadar
vitamin maternal rendah, termasuk asam folat: mengonsumsi klomifen dan asam
valfroat: dan hipertermia selama kehamilan. Diperkirakan hampir 50% defek tuba
neural dapat dicegah jika wanita bersangkutan meminum vitamin-vitamin
prakonsepsi, termasuk asam folat. (buku saku keperawatan pediatric e/3 [Cecila
L. Betz & Linda A. Sowden.2002] hal-468).
Banyak ahli percaya bahwa defek primer pada NTD (neural
tube defect) merupakan kegagalan penutupan tuba neural selama perkembangan awal
embrio. Akan tetapi, ada bukti bahwa defek ini merupakan akibat dari pemisahan
tuba neural yang sudah menutup karena peningkatan abnormal tekanan cairan
serebrospinal selama trimester pertama. Derajat disfungsi neurologik secara
lansung berhubungan dengan level anatomis defek tersebut dan saraf-saraf yang
terlibat. Kebanyakan mielomeningokel melibatkan area lumbal atau lumbosakral,
dan hidrosefalus merupakan anomali yang sering menyertainya (90% sampai 95%).
(buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L. Wong. Hal-1425)
Pembedahan dilakukan secepatnya pada spina bifida yang
tidak tertutup kulit, sebaiknya dalam minggu pertama setelah lahir.
Kadang-kadang sebagai akibat eksisi meningokel terjadi hidrosefalus sementara
atau menetap, karena permukaan absorpsi CSS yang berkurang.
Kegagalan tabung neural untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada strukturnya setelah penutupan dapat dideteksi in utero dengan pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai prosedur skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi; terminology spina bifida digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina vertebrata. (Patologi Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).
Kegagalan tabung neural untuk menutup pada hari ke-28 gestasi, atau kerusakan pada strukturnya setelah penutupan dapat dideteksi in utero dengan pemeriksaan ultrasonogrfi. Pada 90% kasus, kadar alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat; penemuan ini sering digunakan sebagai prosedur skrining. Keterlibatan baik kranial maupun spinal dapat terjadi; terminology spina bifida digunakan pada keterlibatan spinal, apabila malformasi SSP disertai rachischisis maka terjadi kegagalan lamina vertebrata. (Patologi Umum Dan Sistematik Vol 2, J.C.E. Underwood. 1999. hal-885).
Posisi tengkurap mempengaruhi aspek lain dari perawatan
bayi. Misalnya, posisi bayi ini, bayi lebih sulit dibersihkan, area-area
ancaman merupakan ancaman yang pasti, dan pemberian makanan menjadi masalah.
Bayi biasanya diletakkan di dalam incubator atau pemanas sehingga temperaturnya
dapat dipertahankan tanpa pakaian atau penutup yang dapat mengiritasi lesi yang
rapuh. Apabila digunakan penghangat overhead, balutan di atas defek perlu
sering dilembabkan karena efek pengering dari panas yang dipancarkan.
Sebelum pembedahan, kantung dipertahankan tetap lembap
dengan meletakkan balutan steril, lembab, dan tidak lengket di atas defek
tersebut. Larutan pelembab yang dilakukan adalah salin normal steril. Balutan
diganti dengan sering (setiap 2 sampai 4 jam). Dan sakus tersebut diamati
dengan cermat terhadap kebocoran, abrasi, iritasi, atau tanda-tanda infeksi.
Sakus tersebut harus dibersihkan dengan sangat hati-hati jika kotor atau
terkontaminasi. Kadangkadang sakus pecah selama pemindahan dan lubang pada
sakus meningkatkan resiko infeksi pada system saram pusat.
Latihan rentang gerak ringan kadang-kadang dilakukan
untuk mencegah kontraktur, dan meregangkan kontraktur dilakukan, bila
diindikasikan. Akan tetapi latihan ini dibatasi hanya pada kaki, pergelangan
kaki dan sendi lutut. Bila sendi panggul tidak stabil, peregangan terhadap
fleksor pinggul yang kaku atau otot-otot adductor, mempererat kecenderungan
subluksasi.
Penurunan harga diri menjadi ciri khas pada anak dan
remaja yang menderita keadaan ini. Remaja merasa khawatir akan kemampuan
seksualnya, penguasaan social, hubungan kelompok remaja sebaya, dan kematangan
serta daya tariknya. Beratnya ketidakmampuan tersebut lebih berhubungan dengan
persepsi diri terhadap kemampuannya dari pada ketidakmampuan yang sebenarnya
ada pada remaja itu.
D. Gejala Klinis
Gejalanya
bervariasi, tergantung kepada beratnya kerusakan pada korda spinalis dan akar saraf yang terkena. Beberapa anak memiliki
gejala ringan atau tanpa gejala, sedangkan yang lainnya mengalami kelumpuhan
pada daerah yang dipersarafi oleh korda spinalis atau akar saraf yang terkena.
Gejala pada
umumnya berupa penonjolan seperti kantung dipunggung tengah sampai bawah pada
bayi baru lahir. Kelumpuhan/kelemahan pada pinggul, tungkai atau kaki,
penurunan sensasi, inkontinesia uri maupun inkontinensia tinja. Korda spinalis
yang tekena rentan terhadap infeksi (meningitis).
E. Deteksi Prenatal
Terdapat kemungkinan untuk menentukan adanya beberapa NTD
terbuka selama masa prenatal. Pemindaian ultrasuara pada uterus dan peningkatan
konsentrasi alfafetoprotein (AFP), suatu gamma, globulin yang spesifik pada
fetus, dalam cairan amnion mengindikasikan adanya arensefali atau Mielomeningokel.
Waktu yang tepat untuk melakukan pemeriksaan diagnostic ini adalah pada usia
gestasi 16 dan 18 minggu, sebelum konsentrasi AFP yang normalnya menurun, dan
pada saat yang tepat untuk melakukan aborsi terapeutik. Pengambilan sampel
virus koronik (chorionic villus sampling, CVS) juga merupakan pemeriksaan untuk
diagnostik NTD pada masa prenatal.
Prosedur diagnostic di atas direkomendasikan untuk semua
ibu yang telah melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan
ditawarkan bagi semua wanita hamil. Selain itu, rencana kelahiran dengan sesar
dapat menurunkan disfungsi motorik. (buku ajar keperawatan pediatrik, Donna L.
Wong. Hal-1425)
F.
Pemeriksaan Diagnostik dan Berbagai Penelitian.
1.
Untuk
memastikan diagnosa, apa yang ada didalam kantong maka perlu dilakukan
pemeriksaan CT scan dan MRI. Apakah hanya cairan atau ada otak yang ada
didalamnya. Jika hanya cairan dan meningochelenya tidak besar operasi bisa di
tunda sampai umur 2-3 tahun. Tapi jangan sampai umur anak bermain karena itu
akan menjadi bahan ejekan temannya. Tapi jika terdapat jaringan otak di dalam
kantong tersebut maka perlu dilakukan rekonstruksi secepatnya. Agar otak
tersebut bisa berkembang sesuai dengan tempat dan perannya.
2.
Penelitian
yang dilaksanakan untuk mengungkap korelasi defisiensi asam folat dengan kadar
TGF, βl dan TGF 1 dalam serum maupun dalam tulang, serta korelasi kadar kedua
faktor pertumbuhan tersebut dalam tulang kepala pasien meningokel dengan lebar
defek. Bila kedua hal tadi telah terungkap, maka proses teratogenesis
meningokel menjadi lebih jelas. Penelitian ini menggunakan dua macam cara,
sesuai dengan hipotesis yang hendak diuji, yaitu metode eksperimental
laboratoris dengan hewan coba tikus dan metode observasional klinis pada pasien
meningokel.
Derajat defisiensi asam folat
dikelompokkan dalam kategori berat dan ringan sesuai dengan rangsum yang
diberikan, yaitu rangsum sangat rendah folat dan rangsum rendah folat,
sedangkan untuk kontrol adalah rangsum cukup folat. Komposisi rangsum dibuat
sesuai dengan standar kandungan dan takaran purified diet yang selama ini telah
digunakan, meliputi : glukosa, selulosa, casein non vitamin, sunflower oil,
choline, mineral, vitamin tanpa folat dan trace element asam folat dengan tiga
takaran yang berbeda untuk setiap kelompok hewan coba, diberikan lewat sonde
oral. Enam belas minggu setelah pemberian diet, darah hewan coba diambil untuk
pemeriksaan kadar asam folat, TGF β1 dan IGF I, Hewan kemudian dikawinkan, selelah
janin lahir diambil tulang kepalanya untuk pemeriksaan kadar TGF 01 dan IGF 1.
Pada pasien meningokel sewaktu operasi eksisi dengan metode standar, jaringan
tulang tepi defek diambil sedikit untuk pemeriksaan TGF R1 dan IGF I, dan lebar
defek diukur dengan antropometer Martin.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi kadar asam folat yang cukup kuat dengan kadar TGF β1 dan IGF I, serta jumlah sel apoptosis dan nekrosis; demikian juga dengan proses terbentuknya defek tulang pada pasien meningokel.
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa secara keseluruhan terdapat korelasi kadar asam folat yang cukup kuat dengan kadar TGF β1 dan IGF I, serta jumlah sel apoptosis dan nekrosis; demikian juga dengan proses terbentuknya defek tulang pada pasien meningokel.
Hasi1 penelitian ini dapat
memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan tentang konsep baru terbentuknya
defek tulang kepala pada meningokel yang dikaitkan dengan defisiensi asam
fofat. Penelitian ini juga bermanfaat untuk memperluas aspek pencegahan bagi
kasus meningokel dan kelainan neural tube defect pada umumnya, serta aspek
pengobatan terhadap kasus defek tulang kepala, bahkan sejak pasien masih berada
di dalam kandungan.
Langkah selanjutnya, sebelum hamil,
ibu sangat disarankan mengonsumsi asam folat dalam jumlah cukup. Pemeriksaan
laboratorium juga diperlukan untuk mendeteksi ada-tidaknya infeksi.
G. Penatalaksanaan Medis dan Bedah
Tujuan dari pengobatan awal
meningokel adalah mengurangi kerusakan saraf, meminimalkan komplikasi (misalnya
infeksi), serta membantu keluarga dalam menghadapi kelainan ini.
Pembedahan dilakukan pada periode
neonatal untuk mencegah rupture. Perbaikan dengan pembedahan pada lesi spinal
dan pirau CSS pada bayi hidrosefalus dilakukan pada saat kelahiran.
Pencangkokan kulit diperlakukan bila lesinya besar. Antibiotic profilaktik
diberikan untuk mencegah meningitis. Intervensi keperawatan yang dilakukan
tergantung ada tidaknya disfungsi dan berat ringannya disfungsi tersebut pada
berbagai system tubuh.
Terapi fisik dilakukan agar
pergerakan sendi tetap terjaga dan untuk memperkuat fungsi otot. Untuk
mengobati dn mencegah meningitis, infeksi saluran kemih dan lainnyadiberikan
antibiotic. Untuk membantu memperlancar aliran kemih bias dilakukan penekanan
lembut diatas kandung kemih. Pada kasus yang berat kadang harus dilakukan
pemasangan kateter. Diet kaya serat dan program pelatihan buang air besar bisa
membantu memperbaiki fungsi saluran pencernaan.
Untuk mengatasi gejala muskulo
skeletal (otot dan kerangka tubuh) perlu campur tangan dari ortopedi (bedah
tulang) maupun terapi fisik. Keleinan saraf lainnya diobati sesuai dengan jenis
dan luasnya gangguan fungsi yang terjadi. Kadang-kadang pembedahan shunting
untuk memperbaiki hidrosefalus.
Seksio sesarae terencana, sebelum
melahirkan, dapat mengurangi kerusakan neurologis yang terjadi pada bayi dengan
defek korda spinalis.
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian
1.
Anamnesa :
a.
Identitas bayi.
b.
Identitas ibu
2.
Riwayat kehamilan ibu.
Kadar
alfa-fetoprotein dalam serum ibu dan cairan amnion ditemukan meningkat pada
usia 16-18 minggu 4. Riwayat kelahiran. Seksio sesarae terencana atau normal.
3.
Riwayat Keluarga.
Anak
sebelumnya menderita spina bifida.
4.
Riwayat atau adanya faktor resiko
Jenis
kelamin laki-laki
B. Pathway
C. Diagnosa Keperawatan
1.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme
infektif.
2.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
3.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan
sirkulasi cairan serebrospinal
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan sekunder akibat peningkatan tekanan intrakranial .
5.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan
imobilitas sekunder akibat reposisi tidak efektif
6.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
D. Intervensi Keperawatan
1.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan adanya organisme
infektif.
Tujuan :Pasien mengalami penurunan risiko
terhadap infeksi system saraf pusat.
Kriteria
Hasil :Hasil yang di harapkan kantong
meningeal tetap bersih, utuh, dan tidak
menunjukkan buktibukti infeksi
Intervensi / rasional
a.
Posisikan bayi untuk mencegah kontaminasi urin dan feses.
b.
Bersihkan mielomeningokel dengan cermat menggunakan salin
normal steril bila bagian ini menjadi kotor atau terkontaminasi.
c.
Berikan balutan steril dan lembab dengan larutan steril
sesuai instruksi (salin normal, antibiotik) untuk mencegah pengeringan kantong.
d.
Berikan antibiotik sesuai resep Pantau dengan cermat
tanda-tanda infeksi (peningkatan suhu, peka rangsang, latergi, kaku kuduk)
untuk mencegah keterlambatan pengobatan dalam pengobatan.
e.
Berikan perawatan serupa untuk sisi operatif pada paskaoperasi.
2.
Resiko tinggi trauma berhubungan dengan lesi spinal
Tujuan :Pasien tidak mengalami trauma pada
sisi bedah/lesi spinal.
Kriteria
Hasil :Kantong meningeal tetap utuh
Sisi pembedahan sembuh tanpa trauma
Intervensi keperawatan/ Rasional
a.
Rawat bayi dengan cermat untuk mencegah kerusakan pada
kantong meningeal atau sisi pembedahan.
b.
Gunakan alat pelindung di sekitar kantong missal; selimut
plastic bedah, potong sesuai ukuran dan sesuai ukuran dan tempelkan dibawah
kantong di samping sacrum dan selimuti dengan longgar untuk memberikan lapisan
pelindung.
c.
Modifikasi aktifitas keperawatan rutin (misal; member
makan, merapikan tempat tidur, aktifitas kenyamanan) untuk mencegah trauma
3.
Risiko tinggi trauma berhubungan dengan kerusakan
sirkulasi cairan serebrospinal
Tujuan :Pasien tidak mengalami tekanan
intracranial.
Kriteria
Hasil :Tekanan intracranial dan
hidosefalus terdeteksi dini, dan intervensi yang tepat diimplementasikan.
Intervensi keperawatan/rasional
a.
Ukur lingkaran oksifitoprontal setiap hari untuk
mendeteksi peningkatan tekanan intracranial dan terjadinya hidrosefalus.
b.
Observasi adanya tanda-tanda peningkatan intracranial,
yang menunjukkan terjadinya hidrosefalus., Peka rangsang, Latergi Bayi, Menangis
bila diangakat atau digendong: diam bila tetap berbaring, Peningkatan lingkar
oksipitofrontal, Peregangan sutura, Perubahan tingkat kesadaran Anak, Sakit
kepala (khusus di pagi hari), Apatis Konfusi.
4.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kekuatan dan
ketahanan sekunder akibat peningkatan tekanan intracranial
Tujuan :Pasien tidak mengalami deformitas
ekstremitas bawah dan panggul atau resiko pasien terhadap hal tersebut minimal.
Kriteria
Hasil :Ekstremitas mempertahankan
fleksibelitasnya Panggul dan ekstremitas bawah dipertahankan pada artikulasi
dan kesejajaran yang benar.
Intervensi keperawatan/rasional
a.
Lakukan latihan rentang gerak pasif untuk mencegah
kontraktur; jangan memaksakan suatu titik tahanan untuk mencegah trauma.
b.
Lakukan peregangan otot bila diindikasikan untuk mencegah
kontraktur.
c.
Pertahankan panggul pada abduksi ringan sampai sedang
untuk mencegah dislokasi, jaga agar kaki tetap berada pada posisi netral untuk
mencegah kontraktur.
d.
Gunakan gulungan popok, bantalan, bantal pasir kecil,
atau alat yang dirancang khusus untuk mempertahankan posisi yang diinginkan
5.
Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan
imobilitas sekunder akibat reposisi tidak efektif.
Tujuan : Individu
menunjukkan integritas kulit bebas dekubitus
Kriteria
Hasil : kulit tetap
bersih dan kering tanpa bukti-bukti iritasi
Intervensi keperawatan/rasional
a.
Ubah posisi individu untuk berbalik atau mengangkat berat
badannya setiap 30 menit sampai 2 jam untuk penurunan takanan pada kulit.
b.
Instruksikan keluarga tentang teknik spesifik yang
digunakan dirumah untuk mencegah dekubitus.
6.
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi: kurang dari
kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake inadekuat.
Tujuan : Membantu terpenuhinya kebutuhan
nutrisi.
Krtiteria
Hasil :Dapat mempertahankan berat badan
dalam batas normal normal.
Intervensi keperawatan/rasional.
a.
Beri dosis sedikit tetapi sering.
b.
Pasang infuse.
c.
Kolaborasi dengan ahli gizi dalam menentukan jumlah
intake makanan bayi.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kelainan
kongenital merupakan kelainan dalam pertumbuhan struktur bayi yang timbul sejak
kehidupan hasiI konsepsi sel telur. Kelainan kongenital dapat merupakan sebab
penting terjadinya abortus, lahir mati atau kematian segera setelah lahir.
Kematian bayi dalam bulan-bulan pertama kehidupannya sering diakibatkan oleh
kelainan kongenital yang cukup berat.
Meningokel
merupakan kelainan kongenital SSP yang paling sering terjadi. Biasanya terletak
di garis tengah. Meningokel biasanya terdapat di daerah servikal atau daerah
torakal sebelah atas. Kantong hanya berisi selaput otak, sedangkan korda tetap
dalam korda spinalis (dalam durameter tidak terdapat saraf). Tidak terdapat
gangguan sensorik dan motorik. Bayi akan menjadi normal sesudah operasi.
B. Saran
Deteksi
dini dan pencegahan pada awal kehamilan dianjurkan untuk semua ibu yang telah
melahirkan anak dengan gangguan ini dan dan pemeriksaan ditawarkan bagi semua
wanita hamil.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges Marillyn E, dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan pendokumentasian
Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Nelson. Ilmu
Kesehatan Anak Bagian 3. Jakarta: EGC.
Sacharin, Rosa M. 1986. Prinsip Kepeawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.
Wong, Donna L. 2004. Pedoman
klinis keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta: EGC.
http://medicastore.com/penyakit/915/Spina_Bifida_Sumbin
Rizqi Hajar Dewi. 2010. Asuhan Keperawatan Anak Spina Bifida Dengan Meningokel.
http://www.scribd.com/doc/30381861/Asuhan-Keperawatan-Spina-Bifida-Dengan-Meningokel?secret_password=&autodown=docx.01
Mei 2010.